Beritabogor24jam.com – Setelah resmi beroperasi pada 2023, LRT Jabodebek kini tengah dipersiapkan untuk diperluas hingga ke wilayah Bogor.

Proyek ini disebut-sebut sebagai salah satu solusi penting dalam mengurai kemacetan kronis yang setiap hari menghantui jalur penghubung Bogor–Jakarta.

Executive Vice President LRT Jabodebek, Mochamad Purnomosidi, mengungkapkan rencana perpanjangan jalur tersebut kini masuk tahap feasibility study (FS) bersama sejumlah stakeholder terkait.

Mereka yang terlibat dalam pembahasan ini meliputi Kementerian Perhubungan, Adhi Karya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bappenas, hingga PT Industri Kereta Api (Persero) atau INKA.

“Harapannya akhir tahun ini [2025] FS bisa selesai sehingga bisa kita tawarkan ke investor,” ungkap Purnomosidi dalam Media Briefing Dua Tahun LRT, Kamis, 28 Agustus 2025.

Rencana Lanjutan LRT Jabodebek

Purnomosidi menjelaskan bahwa, pihaknya tengah menyusun skema operasional LRT Bogor.

Meski demikian, ia memastikan, moda transportasi ini akan tetap driverless alias tanpa masinis, sebagaimana sistem LRT yang saat ini sudah berjalan.

Terkait pendanaan, pemerintah bersama stakeholder masih membahas skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

“Kami sedang exercise. FS ini penting karena calon investor ingin melihat apakah proyek ini menguntungkan atau tidak,” tambahnya.

Sejak Januari hingga Agustus 2025, LRT Jabodebek mencatat volume penumpang mencapai 17,9 juta orang.

Khusus pada periode 1—27 Agustus saja, jumlahnya sudah menembus 2,3 juta penumpang.

Pemerintah juga turut memperkuat proyek integrasi transportasi ini melalui penerbitan penjaminan pinjaman sindikasi perbankan kepada PT KAI (Persero).

Total jaminan pinjaman yang diberikan mencapai Rp23,4 triliun, terdiri atas Rp19,25 triliun pada 2017 dan tambahan Rp4,16 triliun pada 2020.

Dalam Nota Keuangan RAPBN 2026, pemerintah menegaskan LRT Jabodebek menjadi moda transportasi strategis yang akan meningkatkan konektivitas dan nilai ekonomi kawasan Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi.

Meski ada potensi risiko fiskal apabila gagal memenuhi kewajiban finansial kepada sindikasi kreditur, pemerintah menilai tingkat risiko default pada 2025 masuk kategori sangat rendah.