Beritabogor24jam.com – Pengamat kebijakan publik Yusfitriadi, menilai kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang meminta para pelajar untuk berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki merupakan langkah yang rasional dan tepat sasaran.
Menurutnya, kebijakan tersebut bukan sekadar himbauan biasa, melainkan bentuk dorongan agar para pelajar kembali menanamkan disiplin, tanggung jawab, dan kesadaran sosial sejak dini.
Menurut Founder Lembaga Studi Visi Nusantara (Ls Vinus) itu, kebijakan ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk membangun budaya tertib di tengah masyarakat, khususnya generasi muda.
“Dimana Dedi Mulyadi mengeluarkan surat edaran agar pelajar jalan kaki ke sekolah sangat masuk akal. Tentu saja dengan beberapa hal yang harus disesuaikan dengan kondisi sosial yang ada,” ujar Yusfitriadi, Sabtu, 1 November 2025.
Lebih lanjut, Yusfitriadi mengungkapkan bahwa penggunaan kendaraan bermotor oleh pelajar saat ini sudah menjadi fenomena umum, bahkan di tingkatan pendidikan yang belum layak izin mengemudinya.
Mulai dari pelajar SMP hingga SMA, bahkan terdapat sejumlah kasus siswa SD yang mengendarai motor ke sekolah.
Padahal, kondisi tersebut dinilai tidak hanya bertentangan dengan aturan, tetapi juga membawa dampak buruk bagi pelajar maupun lingkungan pendidikan.
“Selama ini hampir semua pihak menganggap hal itu biasa-biasa saja bahkan masyarakat, kepolisian, pihak sekolah, pihak pemerintah sangat permisif dengan kondisi ini. Padahal dilihat dalam banyak perspektif kondisi tersebut sangat tidak baik,” jelasnya.
Alasan Kebijakan Perlu Dukungan
Yusfitriadi kemudian memaparkan sejumlah alasan mengapa kebijakan ini perlu mendapatkan dukungan penuh masyarakat.
Menurutnya, pelarangan pelajar di bawah usia 17 tahun untuk menggunakan kendaraan bermotor sudah sesuai ketentuan hukum, karena mereka belum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM)
Selain itu, tren kepemilikan motor di kalangan pelajar sering kali menambah beban ekonomi orang tua, sekaligus meningkatkan risiko pergaulan negatif di luar jam sekolah, termasuk potensi tawuran, nongkrong berlebihan, hingga budaya flexing kendaraan.
Tidak hanya itu, keberadaan motor pelajar di sekolah juga seringkali menggeser peran fasilitas pendidikan.
Banyak sekolah kehilangan ruang terbuka karena lapangan berubah menjadi area parkir kendaraan siswa.
Meski mendukung, Yusfitriadi menilai kebijakan ini tidak dapat berjalan efektif tanpa dukungan sistem yang memadai.
Dia menekankan, perlunya kesadaran kolektif dari seluruh pihak, mulai dari orang tua hingga aparat penegak hukum, untuk benar-benar menerapkan kebijakan tersebut.
Ia juga menyoroti pentingnya penyediaan transportasi umum yang layak bagi pelajar, serta penegakan hukum tegas terhadap siswa yang tetap mengendarai motor tanpa izin resmi.
Selain itu, pemerintah diminta meningkatkan pengawasan di area sekitar sekolah agar kebijakan tidak disiasati oleh pelajar yang memarkirkan kendaraan di luar lingkungan sekolah.
“Butuh pengawasan yang ekstra dan kerja sama yang baik antar elemen masyarakat dalam mengawasi kebijakan ini,” tandasnya.










